SURJADI SURYADARMA
Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Udara (TNI AU) sejak berdiri pada tahun 1946 telah silih berganti
pimpinan dengan berbagai sebutan. Menteri/Panglima Angkatan Udara
(Men/Pangau) maupun dengan sebutan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau).
Penetapan Pemerintah No. 6/SD, tanggal 9 April 1946 merupakan dasar dari
pembentukan TNI AU. Tanggal 9 April hingga sekarang diperingati sebagai
hari lahirnya TNI AU. Ketetapan tersebut sekaligus menunjuk Komodor
Udara R. Surjadi Suryadarma sebagai Kepala Staf Tentara Republik
Indonesia Angkatan Udara (TRI AU). Kedudukan TRI AU pada saat itu berada
di Jogyakarta. Suryadarma sebagai KSAU, dihadapkan pada situasi yang
tidak menguntungkan dan mengemban “mission impossible” sehingga
benar-benar berangkat dari kilometer nol karena keterbatasan peralatan,
ketidakadaan sumber daya manusia, bahkan sumber anggaran pembangunan
AURI juga belum jelas. Bersama-sama dengan para perwira lainnya,
Suryadarma berusaha memperbaiki pesawat-pesawat peninggalan Jepang
seperti Cureng, Guntai, Cukiu, Nishikoreng dan Hayabusha. Beberapa
pesawat berhasil diperbaiki sehingga bisa terbang. Pesawat-pesawat
tersebut kemudian dimanfaatkan dalam rangka penerbangan mengunjungi
pelosok-pelosok dalam daerah pulau Jawa. Hal itu dilakukan sebagai media
dalam mengobarkan semangat perjuangan dan menumbuhkan minat dirgantara
nasional, sekaligus untuk menunjukkan eksistensi AURI sejajar dengan
Angkatan lainnya.
Suryadi Suryadarma lahir pada 6 Desember
1912 di Kota Banyuwagi, Propinsi Jawa Timur, merupakan anak dari R.
Suryaka Suryadarma pegawai bank di Banyuwangi, yang masih memiliki garis
keturunan dari Kraton Kanoman, Cirebon. Buyutnya adalah Pangeran
Jakaria alias Aryabrata dari Kraton Kanoman. Sedangkan kakeknya adalah
Dokter Pangeran Boi Suryadarma yang bertempat tinggal di Kuningan Jawa
Barat, beliau tamatan Sekolah Dokter Jawa. Sejak kecil Suryadarma telah
menjadi yatim piatu, Ia ditinggal oleh ibu kandungnya dalam usia yang
masih kecil, sedangkan ayahandanya wafat ketika Suryadarma berusia
sekitar lima tahun. Sepeninggal kedua orangnya, Suryadarma ikut
keluarga kakeknya di Jakarta.
Selain keturunan keraton, Suryadarma
hidup dalam keluarga yang memiliki pendidikan modern dan berpandangan
luas. Pada usia enam tahun, tepatnya tahun 1918, Suryadarma masuk
sekolah ELS (Eropese Lagere School) yaitu Sekolah Dasar khusus
untuk anak Eropa atau Cina dan anak-anak Indonesia yang miliki keturunan
bangsawan atau anak pejabat yang kedudukanya bisa disamakan dengan
Bangsa Eropa. Tahun 1926, Suryadarma menyelesaikan pendidikanya di ELS,
yang kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya yaitu HBS (Hogere Burgere School)
di Bandung. Namun sebelum berhasil menamatkan sekolahnya di kota ini,
ia harus berpindah ke Jakarta dan melanjutkan di KWS-III (Koning Willem School) Jakarta, sekolah ini sederajat dengan HBS, dan berhasil diselesaikan tahun 1931.
Setelah lulus dari KWS-III, Suryadarma
terus berusaha mengejar cita-citanya yang sudah tertanam sejak kecil,
yaitu menjadi penerbang. Kemauan keras Suryadarma untuk menjadi
penerbang, dijalaninya dengan penuh semangat tanpa putus asa. Namun
untuk mengejar cita-citanya ini jalan yang ditempuh masih panjang. Dari
KWS ia tidak dapat langsung mengikuti pendidikan penerbang, Ia harus
menjadi perwira dahulu. Untuk menjadi perwira, tidak ada jalan lain
kecuali mengikuti pendidikan perwira di KMA (Koninklijke militaire Academic),
yang saat itu hanya ada di Breda Negeri Belanda. Kemudian pada Bulan
September 1931, Suryadarma mendaftarkan diri masuk pendidikan perwira di
KMA Breda. Keinginan Suryadarma untuk menjadi anggota militer ini
sebenarnya tidak disetujui oleh kakeknya yang sekaligus menjadi ayah
angkatnya. Setelah mendapat penjelasan dari Suryadarma, akhirnya ayah
angkatnya Dr. Boi Suryadarma tidak keberatan cucunya menjadi kadet
(taruna) KMA.
Dasar-dasar kemilitersan dan
kepemimpinan Suryadarma diperolehnya ketika mengikuti Akademi Militer di
Breda, Belanda yang ditempuh selama tiga tahun. Setelah lulus dari
Akademi Militer Breda pada tahun 1934, Suryadarma ditempatkan di Satuan
Angkatan Darat Belanda di Nijmigen, negeri Belanda, akan tetapi satu
bulan kemudian Suryadarma dipindahkan ke Batalyon I Infantri di Magelang
sampai bulan Nopember 1936. Dengan status sebagai perwira dengan
pangkat Letnan Dua, akhirnya Suryadarma mendaftarkan diri sebagai Calon
Cadet Penerbang. Dua kali Suryadarma mengikuti test masuk Sekolah
Penerbang, namun selalu gagal dengan alasan Suryadarma menderita sakit
malaria. Berkat keuletan dan kemauan yang keras, pada test yang ketiga
Suryadarma akhirnya dapat diterima menjadi siswa penerbang yang
diselenggarakan di Kalijati.
Suryadarma menyelesaikan pendidikan Sekolah Penerbang pada bulan Juli 1938, namun tidak pernah diberikan brevet penerbang berhubung adanya politik diskriminasi Belanda, yang tidak mengizinkan seorang pribumi untuk menjadi penerbang karena Militaire Luchtvaartdienst
merupakan kelompok elite Belanda saat itu. Teman sekamar Suryadarma
ketika di Akademi Militer Breda, Captain A.L. Cox yang telah menjadi
instruktur penerbang di Kalijati sudah tiga kali mengajukan Suryadarma
untuk di checkride, akan tetapi tetap ditolak dan hanya diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian sebagai navigator.
Bulan Juli 1938, Suryadi Suryadarma mengikuti pendidikan di Sekolah Pengintai (Waarnemerschool), yang kemudian pada bulan Juli 1939 ia ditugaskan sebagai navigator pada Kesatuan Pembom (Vliegtuiggroep)
Glenn Martin di Andir Bandung. Bulan Januari 1941, ia dipidahkan untuk
menjadi instruktur pada Sekolah Penerbang dan Pengintai (Vlieg en Waarnemerschool) di Kalijati. Setelah satu tahun menjadi instruktur, sejak Desember 1941 ia ditempatkan pada Kesatuan Pembom di 7 e Vliegtuig Afdeling, Reserve Afdeling Bommenwerners, yang dilaksanakan sampai bala tentara Jepang mendarat di Indonesia tanggal 8 Maret 1942
Pada masa penjajahan Jepang, para
perwira KNIL mendapat kesempatan untuk melarikan diri ke Australia,
namun Suryadi Suryadarma tetap memilih untuk tetap tinggal di tanah
air. Selama penjajahan Jepang, Suryadi Suryadarma banyak mengalami
kesulitan. Melalui ajakan Komisaris Polisi Yusuf, Suryadi Suryadarma
menjadi Polisi Jepang. Sebagai orang yang pernah mendapat pendidikan
militer, Suryadi Suryadarma menjalani tugasnya di kepolisian dengan
disiplin dan suka bekerja. Semula ia menjabat sebagai Kepala Seksi
III/2 dan kemudian menanjak menjadi Kepala Administrasi Kantor Polisi
Pusat di Bandung sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Sesudah proklamasi, Suryadi Suryadarma
bergabung dengan pejuang-pejuang bangsa lainya dalam mempertahankan dan
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Sejak saat itu Suryadi
Suryadarma sepenuhnya ikut dalam kancah revolusi Indonesia. Meskipun
mendapat ancaman dari Jepang, tetapi Suryadarma bertekad untuk tetap
bergabung dengan pejuang-pejuang Bangsa Indonesia lainnya untuk ikut
mendharmabhaktikan dirinya dalam upaya menegakkan kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, PPKI
melaksanakan sidang pertamanya pada 22 Agustus 1945, yang salah satu
keputusanya adalah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Atas dasar
keputusan tersebut, maka di daerah-daerah yang memiliki pangkalan udara
dibentuklah BKR Udara, yang keanggotaanya terdiri dari para pemuda bekas
anggota penerbangan jaman penjajahan Belanda dan Jepang serta para
pemuda lainya. Usaha pertama dari BKR dan rakyat adalah merebut
pangkalan-pangkalan udara dari Jepang.
Pada 5 Oktober 1945, pemerintah
mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang
selanjutnya dibentuk MT TKR (Markas Tertinggi TKR) di Yogyakarta.
Sebagai Kepala Staf Umum dijabat oleh Mayor Jendral Urip Sumohardjo.
Sejalan dengan pembentukan TKR, timbul gagasan dari Kepala Staf Umum TKR
Mayor Jendral Urip Sumohardjo untuk membentuk suatu kekuatan udara di
Indonesia. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Mayor Jendral Urip
Sumohardjo memanggil Suryadi Suryadarma. Panggilan pertama, Surayadarma
belum memenuhinya, karena Ia sedang melaksanakan tugas yang diberikan
Bung Karno untuk menangani BKR di Priangan. Akhirnya pada Bulan
September 1945, Suryadi Suryadarma memenuhi panggilan Urip Sumohardjo
untuk berangkat ke Markas Tertinggi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di
Yogyakarta. Gagasan yang bersifat perintah ini, kemudian disampaikan
kepada Suryadi Suryadarma. Dalam pernyataan kesanggupan untuk
melaksanakan perintah tersebut, Suryadi Suryadarma mengajukan saran,
bahwa angkatan udara yang akan dibentuk seyogyanya merupakan suatu
angkatan udara yag mendiri, seperti halnya Royal Air Force (RAF) di
Inggris. Ketika diserahi tugas membentuk angkatan udara pada bulan
September 1945 tersebut, Suryadarma seperti dihadapkan kepada “mission imposible”.
Bagaimana tidak, Suryadarma dihadapkan pada kendala besar, yaitu
minimnya sumber daya manusia (SDM) dan alusista pesawat terbang yang
ada.
Saran pembentukan angkatan udara yang
mandiri tersebut dapat diterima oleh Mayor Jendral Urip Sumahardjo. Hal
ini terbukti dengan mulai dibicarakannya masalah kekuatan udara dalam
sidang Konferensi Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 12 Nopember 1945
di Yogyakarta, dengan keputusan :
- Pembentukan bagian penerbangan dalam MT TKR.
- Sejak 10 Desember 1945 semua bagian penerbangan di Indonesia, termasuk prajurit, pegawai dan pangkalan serta alat-alatnya ditempatkan di bawah Kepala Penerbangan.
- Kepala Penerbangan berkedudukan di Markas Besar Umum.
Yang kemudian pada tanggal 12 Desember
1945 MT TKR mengeluarkan pengumuman yang ditandatangani oleh Letnan
Jendral Oerip Sumohardjo yang menyatakan bahwa pada MT TKR di bentuk
bagian penerbangan yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma dan Sukarnen
Martokusumo sebagai wakilnya.
Dengan terbentuknya TKR Bagian
Penerbangan, maka pangkalan-pangkalan yang semula di bawah panglima
divisi diserahkan kepada MT TKR yang selanjutnya diserahkan kepada TKR
Bagian Penerbangan. Untuk mengembangkan kekuatan udara, TKR Bagian
Penerbangan memperbaiki pesawat-pesawat tua peninggalan Jepang.
Pesawat-pesawat inilah yang menjadi modal pertama TKR Bagian
Penerbangan, yang pada tanggal 24 Januari 1946 menjadi TKR Jawatan
Penerbangan, dengan markas di Jalan Terban Taman No. 1 Yogyakarta yang
berseberangan dengan Markas Besar TKR.
Kebijakan pertama yang digariskan oleh Suryadi Suryadarma selaku pimpinan TKR Jawatan Penerbangan adalah :- Konsolidasi organisasi pusat (Markas Besar).
- Persiapan untuk ikut segera dalam operasi perjuangan kemerdekaan (Kesatuan Udara, lapangan terbang dan fasilitasnya).
- Melaksanakan pendidikan bagi calon penerbang, baik yang bersifat ulangan, lanjutan mapun baru.
Dalam membangun kekuatan udara
Indonesia, Suryadarma memanggil Agustinus Adisujtipto di Salatiga untuk
ikut membantu menyusun kekuatan udara Indonesia. Selain itu, untuk
konsolidasi TKR Jawatan Penerbangan, para eks penerbang Belanda maupun
tenaga-tenaga yang pernah bekerja pada penerbangan Jepang, baik yang
berada di Jawa maupun di luar Jawa dipanggil melalui mass media.
Meskipun dalam keadaan serba kekurangan,
namun semangat Suryadarma dalam membangun dan menyusun kekuatan udara
Indonesia tidak pernah kendor. Pangkalan-pangkalan udara yang telah
diserahkan ke TKR Jawatan Penerbangan, mulai diperbaiki. Banyak
lapangan terbang yang dalam keadaan terlantar, bahkan ada yang sudah
jadi kebun penduduk, sehingga tinggal landasannya saja. Semuanya ini
memerlukan kerja berat dan pembiayaan banyak. Padahal keadaan ekonomi
pada waktu itu sangatlah sulit, ditambah lagi adanya blokade ekonomi
yang dilancarkan oleh Belanda. Selain itu juga harus dibentuk
dinas-dinas yang belum ada, seperti dinas teknik, dinas perminyakan,
dinas perhubungan, dinas pemberitaan cuaca, dan lain-lain.
Untuk membangun kekuatan udara
Indonesia, maka diadakanlah perbaikan terhadap pesawat-pesawat tua
peninggalan Jepang jenis latih, pemburu, pembom, pengintai dan lainnya.
Yang pada akhirnya tanggal 27 Oktober 1945, untuk pertama kalinya para
juru teknik TKR bagian penerbangan mampu memperbaiki sebuah pesawat
latih “Cureng” yang berbendera merah putih dan dapat mengudara di atas
Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Sejak itu berbagai upaya
penerbangan oleh TKR Jawatan penerbangan dilaksanakan ke berbagai daerah
untuk membuktikan adanya kekuatan udara Indonesia.
Pada 9 April 1946, Presiden RI Sukarno
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 6/SD/1946, TRI Jawatan Penerbangan
dirubah menjadi TRI Angkatan Udara, dan diresmikan pula penggunaan
sebutan dan tanda pangkat dilingkungan TRI Angkatan Udara, dengan
susunan sebagai berikut :
- Pimpinan Tertinggi TRI AU : Panglima Besar Jenderal Sudirman.
- Kepala Staf TRI AU : Suryadi Suryadarma dengan pangkat Komodor Udara (sama dengan Mayor Jendral di Angkatan Darat)
- Wakil Kepala Staf TRI AU I : R. Sukarnen Martokusumo dengan pangkat Komodor Muda Udara (sama dengan kolonel).
- Wakil Kepala Staf TRI AU II : Agistinus Adisutjipto, dengan pangkat Komodor Muda Udara.
Penetapan Pemerintah RI mengangkat Surjadi Suryadarma menjadi Kasau pertama
|
Dalam perkembangan selanjutnya TRI AU
lebih dikenal dengan nama AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang
merupakan angkatan yang berdiri sendiri, sederajat dengan Angkatan
Darat dan Angkatan Laut. Tanggal 9 April tersebut kemudian dijadikan
diperingati sebagai hari jadi TNI Angkatan Udara.
Tugas dan tanggung jawab Suryadarma
sebagai KSAU cukuplah berat, lebih-lebih pada waktu itu masih banyak
masalah nasional maupun masalah dalam tubuh AURI sendiri yang harus
diselesaikan dan dibenahi. Lahirnya AURI bersamaan waktunya dengan masa
perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakan dan mempertahankan
kedaulatan serta kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia. Oleh
karena itu disamping membenahi dan menyempurnakan tubuh AURI yang masih
muda itu, juga sekaligus mengembangkan misi dalam perjuangan. Dengan
demikian, maka terbentuknya TRI Angkatan Udara, tidak terlepas dari
jerih payah Suryadi Suryadarma dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan negara kepadanya.
Sejak memegang pimpinan AURI, Suryadi
Suryadarma banyak melakukan penerbangan ke berbagai daerah di Indonesia.
Ia dengan berani ikut terbang ke Yogyakarta, dari cross-country flight
ke Gorda (Serang), dengan menggunakan Cureng, pesawat peninggalan
Jepang, meskipun akhirnya harus mengadakan pendaratan darurat. Hal ini
dilakukan untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa kita memiliki
kekuatan udara di wilayah Nusantara. Walaupun yang digunakan adalah
pesawat tua peninggalan Jepang. Namun, oleh karena didorong oleh tekad
perjuangan dan semangat yang membaja, maka pesawat-pesawat rongsokan
tersebut berhasil diperbaiki oleh tenaga teknisi Indonesia.
Pada tanggal 27 Februari 1948, Komodor
Udara Suryadi Suryadarma mendapat tugas rangkap sebagai KSAP (Kepala
Staf Angkatan Perang) Republik Indonesia. Dan ketika Belanda melakukan
aksi Militer II tahun 1948, Suryadarma ikut tertawan bersama pimpinan
Republik yang lain, dan dibuang ke Pulau Bangka. Kemudian tahun
berikutnya, dalam memperkuat delegasi Indonesia menghadapi perundingan
dengan pihak Belanda di KMB, Suryadarma turut sebagai penasihat militer.
Demikian juga pada waktu penyerahan kedaulatan tahun 1949. Pada tanggal
27 Juni 1950, Marsekal Suryadarma dengan resmi menerima penyerahan
Markas Besar Koninklijke Militaire Luchtvaart (Angkatan Udara
Belanda) kepada Angkatan Udara Republik Indonesia. Upacara ini
mengakhiri serangkaian upacara penyerahan pesawat udara militer dan
pangkalan Angkatan Udara di beberapa tempat di Indonesia kepada AURI.
Tahun itu juga, Suryadarma menyelenggarakan program pendidikan Kadet,
antara lain mengirim sejumlah calon penerbang ke luar negeri, yaitu pada
bulan Mei 1948 sebanyak 20 Kadet AURI dikirim ke India tujuannya
adalah mengusahakan pendidikan penerbang. Dan tidak kurang dari 60 orang
kadet dikirim ke Amerika, selain itu juga memperbanyak awak pesawat dan
staf personalia. Pada tahun yang sama, mulai merintis pembentukan
Pasukan Payung Angkatan Udara, yang disebut Pasukan Gerak Cepat, yang
kemudian dikenal sebagai Kopasgat.
Presiden RI Ir. Soekarno menyerahkan Panji AURI kepada Kasau Marsekal TNI Surjadi Suryadarma
|
Tahun 1960, Suryadi Suryadarma menjadi
Menteri/Kepala Staf AURI. Jabatan KSAU diserahkan kepada Omar Dani dalam
suatu peristiwa peralihan kepemimpinan yang tragis, di tengah hangatnya
Operasi Mandala, pembebasan Irian Barat tahun 1962. Kemudian diangkat
menjadi penasihat Militer Presiden RI di Jakarta sampai dengan tahun
1965, setelah menjabat penasehat presiden, Suryadarma diangkat sebagai
Menteri Pos dan Telekomunikasi (Postel) di Jakarta. Tahun 1966
diperbantukan pada Menteri/PANGAU. Dan pada tahun 1968, Marsekal Suryadi
Suryadarma diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun.
Setelah pensiun berbagai aktifitas dan
kegemaran dilaksanakan seperti berburu dan menembak, koleksi batuan
mineral/mulia, menulis, koleksi perangko, membaca dan lain-lain.
Menginjak di usia ke 63 tahun, kesehatannya mulai menurun dan mengidap
sakit komplikasi liver. Pada minggu kedua Agustus 1975, Suryadarma mulai
dirawat di Rumah Sakit Husada, Jakarta selama seminggu.
Akhirnya atas kehendak Tuhan Suryadarma
meninggal dunia pada Hari Sabtu tanggal 16 Agustus 1975 pukul 05.45
WIB. Jenazahnya kemudian disemayamkan di rumah duka dan di Markas Besar
TNI Angkatan Udara Jalan Gatot Subroto. Pemakamannya dilaksanakan pada
17 Agustus pukul 13.00 WIB di Pemakaman Umum Karet, Jakarta secara
militer dengan Inspektur Upacara KASAU Marsekal TNI Saleh Basarah.
Sampai dengan akhir hayatnya, Marsekal TNI Rd. Suryadi Suryadarma
didampingi oleh istri tercintanya Utami anak kelima keluarga
Martokusumo, yang dinikahinya pada tanggal 3 Juni 1938, dan telah di
karuniai tiga orang anak, yaitu Dra. Awaniduhita Priyanti, Erlangga
Suryadarma dan Adityawarman Suryadarma.
TNI Angkatan Udara terlahir dari tidak
ada, hingga menjadi angkatan udara paling canggih dan ditakuti di
kawasan Asia Tenggara pada era tahun 1960-an merupakan wujud dari
pengabdian Suryadarma kepada negara dan Bangsa Indonesia dalam membangun
dan mengembangkan Angkatan Udara Republik Indonesia selama 17 tahun
menjabat KSAU yang pertama. Melalui mottonya “Kembangkan Terus Sayapmu demi kejayaan tanah air tercinta ini, Jadilah Perwira sejati pembela tanah air”,
Suryadarma terus mengajak perwira-perwira muda AURI untuk terus
bersemangat dalam menumbuh kembangkan AURI. Untuk itu, pada tahun 2000
Suryadarma dikukuhkan oleh KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan sebagai Bapak
AURI sesuai surat keputusan KSAU nomor SKEP/68/VI/2000 tanggal 20 Juni
2000. Selain itu, untuk mengenang jasa-jasanya, sejak 7 September
2001, nama Suryadarma diabadikan menggantikan nama Lanud Kalijati.
Dipilihnya Lanud Kalijati, karena Lanud Kalijati merupakan salah satu
pangkalan cikal bakal berdirinya TNI Angkatan Udara, yaitu tempat
dilaksanakannya sekolah penerbang pertama dan sekolah-sekolah pendukung
penerbangan
Beberapa tanda kehormatan yang dimiliki Suryadarma, antara lain,
Bintang Maha Putra Adipurna, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang
Garuda, Bintang Sewindu RI, Satya Lencana Perang Kemerdekaan I, Satya
Lencana GOM I (Madiun), Satya Lencana GOM II (RMS), Satya Lencana GOM IV
(Sulawesi Selatan), Satya Lencana GOM V (Jawa Barat), Satya Lencana GOM
VII (Aceh), Satya Lencana Sapta Marga, Satya Lencana Kesetiaan VIII
& XVI Tahun, Medali 10 Tahun AURI, Middle of Yugoslav People Army First Class, The Grand Gordon of the Order of the Republik Thai, Order of the Crown, First Class Thai, Order of the White Elephant Second Class
Selain itu, Suryadarma sebenarnya
mendapat medali penghargaan dari pemerintah Belanda atas jasanya melawan
tentara Jepang semasa pendudukan Jepang di Indonesia, akan tetapi
medali tersebut tidak pernah diberikan oleh Belanda kepada Suryadarma
karena dianggap menyeberang memihak Indonesia saat perang kemerdekaan.
Hingga saat ini medali tersebut masih dipajang di museum perjuangan
Negara di Negeri Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar